Assaalamu 'alaikum sobat blogger...
Sehat kan?
oia, pagi-pagi gini pengen nulis di blog tapi bingung mo nulis apa, eh ketemu ma temen fb. dia penulis yang bagus dan banyak penghargaan yang sudah dia dapatkan. Iseng-iseng minta tulisan ma dia eh gak dikasih. Tetapi dia nyarankan buat posting tulisannya yang sudah di posting di Riaupos. Ya aq mau aja karena sudah diizinkan ma dia. Ok lah langsung aja simak ya ceritanya....
Jangan lupa ya komentarnya dan klo mau menghubungi penulisnya bisa kok ntar aku tampilkan lengkap datanya....
Abah Dayu menepuk-nepukkan telapak tangannya. Semua perlengkapan
pengobatan belian telah dikeluarkan dari tepak. Abah Dayu bersila di
hadapan pedupaan. Asap kemenyan mengepul. Bau tajam menguar.
Mencakar-cakar rongga hidung. Sejumlah talam sesaji berisi limau, tepung
beras, ayam jantan, giring-giring, kain batik, janur, beras, madu
lebah, kipas daun kelapa, lilin dan damar diletakkan di hadapan Abah
Dayu.
Fatimah belum lagi sadarkan diri. Telah tiga hari ia
kerasukan uang bunian. Siang tadi, ia sempat mengamuk. Melempar
barang-barang. Menghancurkan cermin hias, dengan mata membeliak-liak
buas. Kini wajahnya tampak pucat sekali. Keringat dingin tempias di
keningnya. Sepertinya ia sangat kelelahan. Setelah berhari-hari
belingsatan di halaman rumah mengucau-ngucau tanah.
Abah Dayu
menjumput segenggam beras, lalu melambungnya ke langit-langit rumah.
Seketika, kakinya menghentak-hentak di atas tikar pejungkuran mengiringi
bunyi ketobung yang Sarah pukul bertalu-talu. Sebagai anak iyang, Sarah
tak boleh lelah menabuh ketobung. Meski malam telah suntuk. Sedetik
saja ia berhenti, upacara belian bisa gagal.
Gelar kemantan
resmi disandang Abah Dayu empat bulan yang lalu melalui Datok Samboh,
tetua adat Suku Petalangan. Waktu itu Abah Dayu bersaing ketat dengan
Pak Ngo Sulaiman yang juga mewarisi ilmu belian dari almarhum ayahnya.
Meski piawai meracik obat, Pak Ngo Sulaiman ternyata kurang fasih
melafal beberapa mantera pengobatan. Sementara Abah Dayu hampir tak ada
cacat sama sekali. Segala ritual yang ia pertontonkan di hadapan
khalayak begitu mulus dan sempurna. Akhirnya, tanpa kesulitan yang
berarti, Datok Samboh pun memilih Abah Dayu sebagai kumantan yang baru.
Setelah
dilantik, Abah Dayu dan keluarganya tinggal di Anjung Godang. Dilayani
pembantu bak seorang raja. Puluhan hektare ladang dan kebun karet jadi
milik Abah Dayu. Usut-punya usut, ternyata kemenangan Abah Dayu memang
telah direncanakan. Datok Samboh ingin menjodohkan Zailani, putera
bungsunya dengan Sarah, puteri sulung Abah Dayu. Sejak setahun lalu,
Zailani memang sangat tergila-gila pada kecantikan Sarah. Berkali-kali
ia coba merayu dan mengutarakan hasratnya, namun Sarah selalu
menampikknya. Karena Datok Samboh sangat menyayangi Zailani, ia pun
melakukan pendekatan pada Abah Dayu.
"Rupa-rupanya Zailani begitu
tergila-gila pada Sarah. Ia ingin sekali mempersunting putrimu itu jadi
istrinya. Tapi entah kenapa, putrimu itu selalu saja menolaknya," Datok
Samboh berkata dengan wajah muram.
"Datok tak usah khawatir.
Semua bisa diatur. Tapi tentu saja ada syarat yang harus Datok penuhi".
Abah Dayu tersenyum sambil membelai-belai jenggotnya yang lebat.
"Syarat? Apa itu?"
"Datok harus memenangkanku pada pemilihan kumantan baru di balai adat besok. Bagaimana?"
***
Mak
Anis mengiris sebatang lempuk duian tipis-tipis. Sementara Sarah
memasukkannya ke dalam pinggan saji. Sedang Kamah dan Haula’dua pembantu
yang dipekerjakan di Anjung Godang, sibuk mempersiapkan berbagai macam
makanan dan lauk pauk di dapur.
"Malam nanti Abah kau akan
mengobati Fatimah lagi." Mak Anis menatap wajah Sarah. "Mak Inong subuh
tadi datang kemari. Katanya, penyakit putrinya itu kambuh lagi. Kau
harus mencari madu di hutan sialang, ya? Mak tengok di lemari,
persediaan madu Abah kau tinggal sedikit."
"Tapi aku tak pandai menumbai Mak," ucap Sarah sembari meletakkan pinggan saji di meja makan.
"Temui saja Samsul, putera Pak Ngo Sulaiman di kebunnya. Dia sangat mahir menumbai madu. Kau bisa meminta bantuannya."
"Kalau
Abah tahu, bisa marah besar. Emak kan tahu, Abah dan Pak Ngo Sulaiman
tak pernah saling akur? Datok Samboh bilang, mereka bahkan telah
bermusuhan sejak dua puluh tahun silam. Mak tahu perselisihan apa yang
telah terjadi antara Abah dan Pak Ngo Sulaiman sehingga mereka tetap
berkeras hati hingga kini?"
"Hush! Kau ini. Yang tidak-tidak saja yang kau tanyakan tu. Sudahlah, pergi sana!"
***
Samsul
baru saja menabur racikan tepung tawar yang dibuat dari campuran tepung
beras dan aneka dedaunan hutan di sekitar pokok sialang. Dari bibirnya
yang tipis, melantun sejumlah mantera magis.
Popat-popat tanah ibul
Mai popat di tanah tombang
Nonap-nonap Cik Dayangku tidou
Juagan modo di pangkal sialang...
Samsul
lalu menepuk batang sialang tiga kali. Tak lama kemudian, terdengar
dengung lebah yang keluar dari sarang. Pertanda ritual menumbai telah
direstui Tuan Puteri Nilam Cahaya, yang dianggap sebagai ratu lebah
penghasil madu.
Samsul lalu menyalakan tunam dan menggarahkannya
ke sarang lebah. Ratusan lebah pun mendengung meninggalkan sarang.
Gegas Samsul memanjat sigai menuju puncak sialang. Dengan cekatan, ia
mencabik sarang lebah lalu memasukkan madunya ke dalam timbo.
"Bang
Samsul...!" teriak seorang gadis dari bawah pokok sialang. Samsul
menoleh ke arah suara. Ahai... ternyata Sarah yang datang! Dengan mata
berbinar-binar, Samsul pun bergegas turun menemui kekasih hatinya itu.
"Apa gerangan yang sudah membawa engkau datang kemari, Sarah?" tanya Samsul sembari melemparkan senyumnya yang menawan.
"Nanti
malam Abah akan melaksanakan upacara belian lagi di balai adat. Abah
perlu madu lebah untuk kelengkapan sesaji. Makanya pagi-pagi sekali, Mak
menyuruhku menemui Abang untuk dapat madu lebah."
"Ya sudah. Ini
madu untuk kau." Samsul mengangkat timbo di tangannya ke hadapan Sarah.
"Sekarang cepatlah pulang. Nanti bisa celaka kalau Abah kau sampai tahu
kau datang ke mari".
"Tapi aku masih ingin bersama Abang di
sini..." Sarah merangkul tangan Samsul yang kekar lalu menyandarkan
kepalanya di pundak Samsul yang kokoh. "Aku sangat merindukan Abang.
Sudah hampir sebulan kita tak bertemu, kan? Apa Abang tak merindukanku?"
"Bagaimana
mungkin aku tak merindukan orang yang paling aku sayangi? Sehari saja
tak bertemu kau, rasanya seperti seabad saja. Kau tahu? Betapa inginnya
aku memersunting engkau. Tapi sayang, kedua orangtua kita tak merestui.
Bahkan, kini kau telah dipersunting putera sulung Datok Samboh itu. Hati
ini rasanya sakit sekali!"
"Sampai kapanpun, aku hanya akan
mencintai Abang seorang," Sarah berkata lirih. Samsul segera memeluk
tubuh Sarah dengan erat. Erat sekali! Seperti tak mau ia lepaskan lagi.
***
Setelah
disembur dengan air kelapa muda, Fatimah akhirnya sadarkan diri. Sarah
pun berhenti menabuh ketobung. Sementara mata Abah Dayu tampak
membelalak. Sepertinya ia melihat sesuatu yang tampak ganjil di bagian
perut Fatimah.
"Apa kau tengah mengandung, Fatimah?" Tanya Abah Dayu tanpa mengedipkan mata.
"Ak, ak, ku." Suara Fatimah seperti tersedak di kerongkongan.
"Kau, kau hamil? Ya Tuhan, Siapa yang telah menghamili engkau, Fatimah?" Mak Inong mengguncang-guncang tubuh putrinya itu.
"Ak, ak, ku."
"Katakan siapa laki-laki itu, Fatimah?!"
"Laki-laki
itu Samsul, Mak! Samsul-lah yang telah merenggut keperawananku dua
bulan lalu di hutan sialang. Dan sekarang, aku tengah mengandung
anaknya."
Semua yang mendengarnya terbelalak tak percaya. Terutama Mak Inong dan Sarah. Mereka benar-benar terguncang!
***
Mak
Anis terkejut sekali melihat Sarah pulang dengan berurai air mata.
Segera dipeluknya anak gadisnya itu sambil membelai-belainya dengan
sayang, berusaha meredam amarah yang tengah berkecamuk di hatinya.
"Apa Mak tahu penyebab Fatimah kerasukan uang bunian?" tanya Sarah sembari menyusut air mata. Mak Anis menggelang.
"Ternyata Fatimah saat ini tengah hamil."
"Apa? Hamil?" Mak Anis menelan ludah.
"Tahukah Mak siapa laki-laki yang telah menghamilinya?"
"S... siapa?"
"Bang Samsul, Mak. Bang Samsul-lah yang telah menghamilinya!"
"Apa?"
Mak Anis terbelalak tak percaya. "Tak mungkin Samsul bisa berbuat
sekeji itu. Dia anak baik-baik. Fatimah pasti telah berbohong!"
"Meski
benar sekalipun, aku takkan pernah rela jika Bang Samsul harus
bertanggung jawab atas anak yang dikandung Fatimah. Aku sangat mencintai
Bang Samsul. Dan Bang Samsul pun sangat mencintaiku. Kami sama-sama
saling mencintai."
Mak Anis hampir tersedak mendengar penuturan
Sarah barusan. "Apa kau bilang tadi? Kalian saling mencintai? Apa kau
sudah gila, Sarah? Kau telah bertunangan dengan Zailani, putera sulung
Datok Samboh!"
"Tapi aku tak mencintainya. Aku hanya mencintai Bang Samsul!"
"Sudah!
Kau jangan banyak bertingkah lagi. Persiapkan saja dirimu
sebaik-baiknya untuk menyambut penikahan kalian di balai adat besok. Dua
bulan bukan waktu yang lama. Jangan sampai kau membuat malu keluarga."
"Sampai kapanpun aku tak akan sudi menikah dengan Zailani. Aku hanya ingin menikah dengan Bang Samsul!"
"Ya
Tuhan, setan apa yang sudah membuat kau seperti ini, Sarah?" Mak Anis
mengurut dada. "Sampai menangis darah sekalipun kau memohon, Emak takkan
pernah merestui hubungan kalian."
"Kenapa?"
Hening.
"Kenapa Mak diam? Kenapa Mak tak pernah merestui hubungan kami? Padahal kami saling mencintai?"
"Karena kalian memang diharamkan untuk menikah!"
"Haram? Maksud, Mak?"
"Samsul adalah anak kandung Emak. Kalian adalah kakak adik yang sama-sama terlahir dari rahim Emak."
"Ya
Tuhan..." bibir Sarah bergetar. Ia benar-benar tak bisa percaya atas
apa yang dituturkan Emaknya barusan. Semuanya terasa bagai mimpi.
"Dua
puluh tahun silam, Emak dan Pak Ngo Sulaiman adalah sepasang kekasih
yang saling mencintai. Namun sayang, kedua orangtua Mak dan Pak Ngo
Sulaiman tak merestui hubungan kami. Sampai akhirnya Emak dijodohkan dan
dinikahkan dengan Abah Dayu. Padahal waktu itu Emak tengah mengandung
anak dari Pak Ngo Sulaiman.
Sebulan setelah Emak melahirkan
Samsul, diam-diam Pak Ngo Sulaiman datang menemui Mak. Ia memaksa Emak
menyerahkan Samsul padanya. Kalau tidak, ia akan membocorkan rahasia
Emak yang telah hamil duluan sebelum menikah dengan Abah Dayu. Namun
rupa-rupanya Abah Dayu mendengar pembicaraan kami dari balik pintu.
Mengetahui hal itu, Pak Ngo Sulaiman pun buru-buru lari membawa Samsul.
Sejak itu Abah Dayu dan Pak Ngo Sulaiman saling bermusuhan. Tiap kali
bertemu, pasti ada hawa dendam yang terpancar dari tatapan mereka..."
"Mak Anis! Mak Anis.!" tiba-tiba terdengar teriakan Kamah dari teras rumah.
"Ada apa, Kamah? Kenapa engkau berteriak-teriak seperti dikejar-kejar setan begitu?" heran Mak Anis dari muka pintu.
"Samsul,
Mak. Samsul mati ditikam Abah Fatimah usai berkelahi di halaman balai
adat beberapa saat setelah upacara belian selesai!"
Serupa
mendengar dentuman guntur di tengah hari. Mak Anis terhenyak bukan
kepalang. Sementara tubuh Sarah tampak menggigil hebat. Dengan mata
berkunang-kunang, dituruninya setiap anak tangga sambil membelai-belai
perutnya yang mulai tampak membuncit.
"O, anakku yang malang.
Alamatlah kau akan lahir ke dunia sebagai anak gampang tanpa ayah,"
lirih Sarah menyembilu, sebelum akhirnya roboh ke tanah. ***
Catatan:
Belian: tradisi pengobatan Suku Petalangan
Orang bunian: mahluk halus
Ketobung: sejenis gendang
Anak iyang: orang yang bertugas memukul ketobung
Kemantan: gelar tertinggi yang diberi pada dukun/ tabib
Lempuk durian: sejenis dodol yang terbuat dari buah durian
Menumbai: tradisi mengambil madu
Tunam: sejenis obor yang digunakan untuk mengusir lebah dari sarangnya
Sigai: tangga
Timbo: sejenis bakul yang dibuat dari anyaman rotan
Anak gampang: anak haram jadah
Ahmad Ijazi H,
Kelahiran
Rengat, Indragiri Hulu Riau. Pernah meraih beberapa penghargaan
bergengsi di bidang menulis, salah satunya nominasi Sayembara Novel
Ganti Award ke IV se-Riau dengan novel Metafora dan Alegori, 2008, dll.
Kini masih studi di UIN Suska Riau. Bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP)
Riau.
Sumbernya : http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=417&kat=1#.ULalO2fUQQ0
Assaalamu 'alaikum sobat blogger...
Sehat kan?
oia, pagi-pagi gini pengen nulis di blog tapi bingung mo nulis apa, eh ketemu ma temen fb. dia penulis yang bagus dan banyak penghargaan yang sudah dia dapatkan. Iseng-iseng minta tulisan ma dia eh gak dikasih. Tetapi dia nyarankan buat posting tulisannya yang sudah di posting di Riaupos. Ya aq mau aja karena sudah diizinkan ma dia. Ok lah langsung aja simak ya ceritanya....
Jangan lupa ya komentarnya dan klo mau menghubungi penulisnya bisa kok ntar aku tampilkan lengkap datanya....
Abah Dayu menepuk-nepukkan telapak tangannya. Semua perlengkapan
pengobatan belian telah dikeluarkan dari tepak. Abah Dayu bersila di
hadapan pedupaan. Asap kemenyan mengepul. Bau tajam menguar.
Mencakar-cakar rongga hidung. Sejumlah talam sesaji berisi limau, tepung
beras, ayam jantan, giring-giring, kain batik, janur, beras, madu
lebah, kipas daun kelapa, lilin dan damar diletakkan di hadapan Abah
Dayu.
Fatimah belum lagi sadarkan diri. Telah tiga hari ia
kerasukan uang bunian. Siang tadi, ia sempat mengamuk. Melempar
barang-barang. Menghancurkan cermin hias, dengan mata membeliak-liak
buas. Kini wajahnya tampak pucat sekali. Keringat dingin tempias di
keningnya. Sepertinya ia sangat kelelahan. Setelah berhari-hari
belingsatan di halaman rumah mengucau-ngucau tanah.
Abah Dayu
menjumput segenggam beras, lalu melambungnya ke langit-langit rumah.
Seketika, kakinya menghentak-hentak di atas tikar pejungkuran mengiringi
bunyi ketobung yang Sarah pukul bertalu-talu. Sebagai anak iyang, Sarah
tak boleh lelah menabuh ketobung. Meski malam telah suntuk. Sedetik
saja ia berhenti, upacara belian bisa gagal.
Gelar kemantan
resmi disandang Abah Dayu empat bulan yang lalu melalui Datok Samboh,
tetua adat Suku Petalangan. Waktu itu Abah Dayu bersaing ketat dengan
Pak Ngo Sulaiman yang juga mewarisi ilmu belian dari almarhum ayahnya.
Meski piawai meracik obat, Pak Ngo Sulaiman ternyata kurang fasih
melafal beberapa mantera pengobatan. Sementara Abah Dayu hampir tak ada
cacat sama sekali. Segala ritual yang ia pertontonkan di hadapan
khalayak begitu mulus dan sempurna. Akhirnya, tanpa kesulitan yang
berarti, Datok Samboh pun memilih Abah Dayu sebagai kumantan yang baru.
Setelah
dilantik, Abah Dayu dan keluarganya tinggal di Anjung Godang. Dilayani
pembantu bak seorang raja. Puluhan hektare ladang dan kebun karet jadi
milik Abah Dayu. Usut-punya usut, ternyata kemenangan Abah Dayu memang
telah direncanakan. Datok Samboh ingin menjodohkan Zailani, putera
bungsunya dengan Sarah, puteri sulung Abah Dayu. Sejak setahun lalu,
Zailani memang sangat tergila-gila pada kecantikan Sarah. Berkali-kali
ia coba merayu dan mengutarakan hasratnya, namun Sarah selalu
menampikknya. Karena Datok Samboh sangat menyayangi Zailani, ia pun
melakukan pendekatan pada Abah Dayu.
"Rupa-rupanya Zailani begitu
tergila-gila pada Sarah. Ia ingin sekali mempersunting putrimu itu jadi
istrinya. Tapi entah kenapa, putrimu itu selalu saja menolaknya," Datok
Samboh berkata dengan wajah muram.
"Datok tak usah khawatir.
Semua bisa diatur. Tapi tentu saja ada syarat yang harus Datok penuhi".
Abah Dayu tersenyum sambil membelai-belai jenggotnya yang lebat.
"Syarat? Apa itu?"
"Datok harus memenangkanku pada pemilihan kumantan baru di balai adat besok. Bagaimana?"
***
Mak
Anis mengiris sebatang lempuk duian tipis-tipis. Sementara Sarah
memasukkannya ke dalam pinggan saji. Sedang Kamah dan Haula’dua pembantu
yang dipekerjakan di Anjung Godang, sibuk mempersiapkan berbagai macam
makanan dan lauk pauk di dapur.
"Malam nanti Abah kau akan
mengobati Fatimah lagi." Mak Anis menatap wajah Sarah. "Mak Inong subuh
tadi datang kemari. Katanya, penyakit putrinya itu kambuh lagi. Kau
harus mencari madu di hutan sialang, ya? Mak tengok di lemari,
persediaan madu Abah kau tinggal sedikit."
"Tapi aku tak pandai menumbai Mak," ucap Sarah sembari meletakkan pinggan saji di meja makan.
"Temui saja Samsul, putera Pak Ngo Sulaiman di kebunnya. Dia sangat mahir menumbai madu. Kau bisa meminta bantuannya."
"Kalau
Abah tahu, bisa marah besar. Emak kan tahu, Abah dan Pak Ngo Sulaiman
tak pernah saling akur? Datok Samboh bilang, mereka bahkan telah
bermusuhan sejak dua puluh tahun silam. Mak tahu perselisihan apa yang
telah terjadi antara Abah dan Pak Ngo Sulaiman sehingga mereka tetap
berkeras hati hingga kini?"
"Hush! Kau ini. Yang tidak-tidak saja yang kau tanyakan tu. Sudahlah, pergi sana!"
***
Samsul
baru saja menabur racikan tepung tawar yang dibuat dari campuran tepung
beras dan aneka dedaunan hutan di sekitar pokok sialang. Dari bibirnya
yang tipis, melantun sejumlah mantera magis.
Popat-popat tanah ibul
Mai popat di tanah tombang
Nonap-nonap Cik Dayangku tidou
Juagan modo di pangkal sialang...
Samsul
lalu menepuk batang sialang tiga kali. Tak lama kemudian, terdengar
dengung lebah yang keluar dari sarang. Pertanda ritual menumbai telah
direstui Tuan Puteri Nilam Cahaya, yang dianggap sebagai ratu lebah
penghasil madu.
Samsul lalu menyalakan tunam dan menggarahkannya
ke sarang lebah. Ratusan lebah pun mendengung meninggalkan sarang.
Gegas Samsul memanjat sigai menuju puncak sialang. Dengan cekatan, ia
mencabik sarang lebah lalu memasukkan madunya ke dalam timbo.
"Bang
Samsul...!" teriak seorang gadis dari bawah pokok sialang. Samsul
menoleh ke arah suara. Ahai... ternyata Sarah yang datang! Dengan mata
berbinar-binar, Samsul pun bergegas turun menemui kekasih hatinya itu.
"Apa gerangan yang sudah membawa engkau datang kemari, Sarah?" tanya Samsul sembari melemparkan senyumnya yang menawan.
"Nanti
malam Abah akan melaksanakan upacara belian lagi di balai adat. Abah
perlu madu lebah untuk kelengkapan sesaji. Makanya pagi-pagi sekali, Mak
menyuruhku menemui Abang untuk dapat madu lebah."
"Ya sudah. Ini
madu untuk kau." Samsul mengangkat timbo di tangannya ke hadapan Sarah.
"Sekarang cepatlah pulang. Nanti bisa celaka kalau Abah kau sampai tahu
kau datang ke mari".
"Tapi aku masih ingin bersama Abang di
sini..." Sarah merangkul tangan Samsul yang kekar lalu menyandarkan
kepalanya di pundak Samsul yang kokoh. "Aku sangat merindukan Abang.
Sudah hampir sebulan kita tak bertemu, kan? Apa Abang tak merindukanku?"
"Bagaimana
mungkin aku tak merindukan orang yang paling aku sayangi? Sehari saja
tak bertemu kau, rasanya seperti seabad saja. Kau tahu? Betapa inginnya
aku memersunting engkau. Tapi sayang, kedua orangtua kita tak merestui.
Bahkan, kini kau telah dipersunting putera sulung Datok Samboh itu. Hati
ini rasanya sakit sekali!"
"Sampai kapanpun, aku hanya akan
mencintai Abang seorang," Sarah berkata lirih. Samsul segera memeluk
tubuh Sarah dengan erat. Erat sekali! Seperti tak mau ia lepaskan lagi.
***
Setelah
disembur dengan air kelapa muda, Fatimah akhirnya sadarkan diri. Sarah
pun berhenti menabuh ketobung. Sementara mata Abah Dayu tampak
membelalak. Sepertinya ia melihat sesuatu yang tampak ganjil di bagian
perut Fatimah.
"Apa kau tengah mengandung, Fatimah?" Tanya Abah Dayu tanpa mengedipkan mata.
"Ak, ak, ku." Suara Fatimah seperti tersedak di kerongkongan.
"Kau, kau hamil? Ya Tuhan, Siapa yang telah menghamili engkau, Fatimah?" Mak Inong mengguncang-guncang tubuh putrinya itu.
"Ak, ak, ku."
"Katakan siapa laki-laki itu, Fatimah?!"
"Laki-laki
itu Samsul, Mak! Samsul-lah yang telah merenggut keperawananku dua
bulan lalu di hutan sialang. Dan sekarang, aku tengah mengandung
anaknya."
Semua yang mendengarnya terbelalak tak percaya. Terutama Mak Inong dan Sarah. Mereka benar-benar terguncang!
***
Mak
Anis terkejut sekali melihat Sarah pulang dengan berurai air mata.
Segera dipeluknya anak gadisnya itu sambil membelai-belainya dengan
sayang, berusaha meredam amarah yang tengah berkecamuk di hatinya.
"Apa Mak tahu penyebab Fatimah kerasukan uang bunian?" tanya Sarah sembari menyusut air mata. Mak Anis menggelang.
"Ternyata Fatimah saat ini tengah hamil."
"Apa? Hamil?" Mak Anis menelan ludah.
"Tahukah Mak siapa laki-laki yang telah menghamilinya?"
"S... siapa?"
"Bang Samsul, Mak. Bang Samsul-lah yang telah menghamilinya!"
"Apa?"
Mak Anis terbelalak tak percaya. "Tak mungkin Samsul bisa berbuat
sekeji itu. Dia anak baik-baik. Fatimah pasti telah berbohong!"
"Meski
benar sekalipun, aku takkan pernah rela jika Bang Samsul harus
bertanggung jawab atas anak yang dikandung Fatimah. Aku sangat mencintai
Bang Samsul. Dan Bang Samsul pun sangat mencintaiku. Kami sama-sama
saling mencintai."
Mak Anis hampir tersedak mendengar penuturan
Sarah barusan. "Apa kau bilang tadi? Kalian saling mencintai? Apa kau
sudah gila, Sarah? Kau telah bertunangan dengan Zailani, putera sulung
Datok Samboh!"
"Tapi aku tak mencintainya. Aku hanya mencintai Bang Samsul!"
"Sudah!
Kau jangan banyak bertingkah lagi. Persiapkan saja dirimu
sebaik-baiknya untuk menyambut penikahan kalian di balai adat besok. Dua
bulan bukan waktu yang lama. Jangan sampai kau membuat malu keluarga."
"Sampai kapanpun aku tak akan sudi menikah dengan Zailani. Aku hanya ingin menikah dengan Bang Samsul!"
"Ya
Tuhan, setan apa yang sudah membuat kau seperti ini, Sarah?" Mak Anis
mengurut dada. "Sampai menangis darah sekalipun kau memohon, Emak takkan
pernah merestui hubungan kalian."
"Kenapa?"
Hening.
"Kenapa Mak diam? Kenapa Mak tak pernah merestui hubungan kami? Padahal kami saling mencintai?"
"Karena kalian memang diharamkan untuk menikah!"
"Haram? Maksud, Mak?"
"Samsul adalah anak kandung Emak. Kalian adalah kakak adik yang sama-sama terlahir dari rahim Emak."
"Ya
Tuhan..." bibir Sarah bergetar. Ia benar-benar tak bisa percaya atas
apa yang dituturkan Emaknya barusan. Semuanya terasa bagai mimpi.
"Dua
puluh tahun silam, Emak dan Pak Ngo Sulaiman adalah sepasang kekasih
yang saling mencintai. Namun sayang, kedua orangtua Mak dan Pak Ngo
Sulaiman tak merestui hubungan kami. Sampai akhirnya Emak dijodohkan dan
dinikahkan dengan Abah Dayu. Padahal waktu itu Emak tengah mengandung
anak dari Pak Ngo Sulaiman.
Sebulan setelah Emak melahirkan
Samsul, diam-diam Pak Ngo Sulaiman datang menemui Mak. Ia memaksa Emak
menyerahkan Samsul padanya. Kalau tidak, ia akan membocorkan rahasia
Emak yang telah hamil duluan sebelum menikah dengan Abah Dayu. Namun
rupa-rupanya Abah Dayu mendengar pembicaraan kami dari balik pintu.
Mengetahui hal itu, Pak Ngo Sulaiman pun buru-buru lari membawa Samsul.
Sejak itu Abah Dayu dan Pak Ngo Sulaiman saling bermusuhan. Tiap kali
bertemu, pasti ada hawa dendam yang terpancar dari tatapan mereka..."
"Mak Anis! Mak Anis.!" tiba-tiba terdengar teriakan Kamah dari teras rumah.
"Ada apa, Kamah? Kenapa engkau berteriak-teriak seperti dikejar-kejar setan begitu?" heran Mak Anis dari muka pintu.
"Samsul,
Mak. Samsul mati ditikam Abah Fatimah usai berkelahi di halaman balai
adat beberapa saat setelah upacara belian selesai!"
Serupa
mendengar dentuman guntur di tengah hari. Mak Anis terhenyak bukan
kepalang. Sementara tubuh Sarah tampak menggigil hebat. Dengan mata
berkunang-kunang, dituruninya setiap anak tangga sambil membelai-belai
perutnya yang mulai tampak membuncit.
"O, anakku yang malang.
Alamatlah kau akan lahir ke dunia sebagai anak gampang tanpa ayah,"
lirih Sarah menyembilu, sebelum akhirnya roboh ke tanah. ***
Catatan:
Belian: tradisi pengobatan Suku Petalangan
Orang bunian: mahluk halus
Ketobung: sejenis gendang
Anak iyang: orang yang bertugas memukul ketobung
Kemantan: gelar tertinggi yang diberi pada dukun/ tabib
Lempuk durian: sejenis dodol yang terbuat dari buah durian
Menumbai: tradisi mengambil madu
Tunam: sejenis obor yang digunakan untuk mengusir lebah dari sarangnya
Sigai: tangga
Timbo: sejenis bakul yang dibuat dari anyaman rotan
Anak gampang: anak haram jadah
Ahmad Ijazi H,
Kelahiran
Rengat, Indragiri Hulu Riau. Pernah meraih beberapa penghargaan
bergengsi di bidang menulis, salah satunya nominasi Sayembara Novel
Ganti Award ke IV se-Riau dengan novel Metafora dan Alegori, 2008, dll.
Kini masih studi di UIN Suska Riau. Bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP)
Riau.
Sumbernya : http://www.riaupos.co/spesial.php?act=full&id=417&kat=1#.ULalO2fUQQ0
0 komentar: